A . Pengertian
Salat dua gerhana atau salat kusufain berarti
salat dua gerhana atau salat yang dilakukan saat terjadi gerhana bulan maupun matahari.
Salat yang dilakukan saat gerhana bulan disebut dengan salat khusuf;
sedangkan saat gerhana matahari disebut dengan salat kusuf
Ia adalah solat dua rakaat. Dan pada setiap rakaat terdapat
dua kali berdiri (qiyam) dan dua kali ruku’.
Lebih diutamakan dilakukan secara berjamaah, meskipun
jama’ah bukan merupakan syarat.
B. Pensyariatan Shalat Gerhana
Shalat gerhana adalah shalat sunnah muakkadah yang
ditetapkan dalam syariat Islam sebagaimana para ulama telah menyepakatinya.
1. Al-Quran
Dalilnya adalah firman Allah SWT :
Dan dari sebagian tanda-tanda-Nya adalah adanya malam dan
siang serta adanya matahari dan bulan. Janganla kamu sujud kepada matahari atau
bulan tetapi sujudlah kepada Allah Yang Menciptakan keduanya. (QS.
Fushshilat : 37)
Maksud dari perintah Allah SWT untuk bersujud kepada Yang
Menciptakan matahari dan bulan adalah perintah untuk mengerjakan shalat gerhana
matahari dan gerhana bulan.
2. As-Sunnah
Selain itu juga Rasulullah SAW bersabda :
Sesungguhnya matahari dan bulan adalah sebuah tanda dari
tanda-tanda Allah SWT. Keduanya tidak menjadi gerhana disebabkan kematian
seseorang atau kelahirannya. Bila kalian mendapati gerhana, maka lakukanlah
shalat dan berdoalah hingga selesai fenomena itu. (HR. Bukhari, Muslim dan
Ahmad)
Selain itu juga ada hadits lainnya :
Ketika matahari mengalami gerhana di zaman Rasulullah SAW,
orang-orang dipanggil shalat dengan lafaz : As-shalatu jamiah". (HR.
Bukhari).
Shalat gerhana disyariatkan kepada siapa saja, baik dalam
keadaan muqim di negerinya atau dalam keadaan safar, baik untuk laki-laki atau
untuk perempuan. Atau diperintahkan kepada orang-orang yang wajib melakukan
shalat Jumat.
Namun meski demikian, kedudukan shalat ini tidak sampai
kepada derajat wajib, sebab dalam hadits lain disebutkan bahwa tidak ada
kewajiban selain shalat 5 waktu semata.
C. Hukum Shalat Gerhana
Para ulama membedakan antara hukum shalat gerhana matahari
dan gerhana bulan.
1. Gerhana Matahari
Para ulama umumnya sepakat mengatakan bahwa shalat gerhana
matahari hukumnya sunnah muakkadah, kecuali mazbah Al-Hanafiyah yang mengatakan
hukumnya wajib.
a. Sunnah Muakkadah
Jumhur ulama yaitu Mazhab Al-Malikiyah, As-Syafi'iyah dan
Al-Malikiyah berketetapan bahwa hukum shalat gerhana matahari adalah sunnah
muakkad.
b. Wajib
Sedangkan Mazhab Al-Hanafiyah berpendapat bahwa shalat
gerhana matahari hukumnya wajib.
2. Gerhana Bulan
Sedangkan dalam hukum shalat gerhana bulan, pendapat para
ulama terpecah menjadi tiga macam, antara yang mengatakan hukunya hasanah,
mandubah dan sunnah muakkadah.
a. Hasanah
Mazhab Al-Hanafiyah memandang bahwa shalat gerhana bulan
hukumnya hasanah.
b. Mandubah
Mazhab Al-Malikiyah berpendapat bahwa hukum shalat gerhana
bulan adalah mandubah.
c. Sunnah Muakkadah
Mazhab As-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah berpendapat bahwa
hukum shalat gerhana bulan adalah sunnah muakkadah.
D. Pelaksanaan Shalat Gerhana
1. Berjamaah
1. Berjamaah
Shalat gerhana matahari dan bulan dikerjakan dengan cara
berjamaah, sebab dahulu Rasulullah SAW mengerjakannya dengan berjamaah di
masjid. Shalat gerhana secara berjamaah dilandasi oleh hadits Aisyah radhiyallahu
'anha.
2. Tanpa Adzan dan Iqamat
Shalat gerhana dilakukan tanpa didahului dengan azan atau
iqamat. Yang disunnahkan hanyalah panggilan shalat dengan lafaz "As-Shalatu
Jamiah". Dalilnya adalah hadits berikut :
Ketika matahari mengalami gerhana di zaman Rasulullah SAW,
orang-orang dipanggil shalat dengan lafaz : As-shalatu jamiah". (HR.
Bukhari).
3. Sirr dan Jahr
Namun shalat ini boleh juga dilakukan dengan sirr
(merendahkan suara) maupun dengan jahr (mengeraskannya).
4. Mandi
Juga disunnahkan untuk mandi sunnah sebelum melakukan shalat
gerhana, sebab shalat ini disunnahkan untuk dikerjakan dengan berjamaah
5. Khutbah
Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hukum
khutbah pada shalat gerhana.
1. Disyariatkan Khutbah
Menurut pendapat As-Syafi'iyah, dalam shalat gerhana
disyariatkan untuk disampaikan khutbah di dalamnya. Khutbahnya seperti layaknya
khutbah Idul Fithri dan Idul Adha dan juga khutbah Jumat.
Dalilnya adalah hadits Aisyah ra berikut ini :
Dari Aisyah ra berkata,"Sesungguhnya ketika Nabi SAW
selesai dari shalatnya, beliau berdiri dan berkhutbah di hadapan manusia dengan
memuji Allah, kemudian bersabda, "Sesungguhnya matahari dan bulan adalah
sebuah tanda dari tanda-tanda Allah SWT. Keduanya tidak menjadi gerhana
disebabkan kematian seseorang atau kelahirannya. Bila kalian mendapati gerhana,
maka lakukanlah shalat dan berdoalah. (HR. Bukhari Muslim)
Dalam khutbah itu Rasulullah SAW menganjurkan untuk
bertaubat dari dosa serta untuk mengerjakan kebajikan dengan bersedekah, doa
dan istighfar (minta ampun).
2. Tidak Disyariatkan Khutbah
Sedangkan Al-Malikiyah mengatakan bahwa dalam shalat ini
disunnahkan untuk diberikan peringatan (al-wa'zh) kepada para jamaah yang hadir
setelah shalat, namun bukan berbentuk khutbah formal di mimbar.
Al-Hanafiyah dan Al-Hanabilah juga tidak mengatakan bahwa
dalam shalat gerhana ada khutbah, sebab pembicaraan Nabi SAW setelah shalat
dianggap oleh mereka sekedar memberikan penjelasan tentang hal itu.
Dasar pendapat mereka adalah sabda Nabi SAW :
Bila kalian mendapati gerhana, maka lakukanlah shalat dan
berdoalah. (HR. Bukhari Muslim)
Dalam hadits ini Nabi SAW tidak memerintahkan untuk
disampaikannya khutbah secara khusus. Perintah beliau hanya untuk shalat saja
tanpa menyebut khutbah.
6. Banyak Berdoa, Dzikir, Takbir dan Sedekah
Disunnahkan apabila datang gerhana untuk memperbanyak doa,
dzikir, takbir dan sedekah, selain shalat gerhana itu sendiri.
Apabila kamu menyaksikannya maka berdoalah kepada Allah,
bertakbir, shalat dan bersedekah. (HR. Bukhari dan Muslim)
E. Tata Cara Shalat Gerhana
Ada pun bagaimana bentuk teknis dari shalat gerhana, para
ulama menerangkan berdasarkan nash-nash syar'i sebagai berikut :
1. Dua Rakaat
Shalat gerhana dilakukan sebanyak 2 rakaat. Masing-masing rakaat dilakukan dengan 2 kali berdiri, 2 kali membaca qiraah surat Al-Quran, 2 ruku' dan 2 sujud. Dalil yang melandasi hal tersebut adalah :
Shalat gerhana dilakukan sebanyak 2 rakaat. Masing-masing rakaat dilakukan dengan 2 kali berdiri, 2 kali membaca qiraah surat Al-Quran, 2 ruku' dan 2 sujud. Dalil yang melandasi hal tersebut adalah :
Dari Abdullah bin Amru berkata,"Tatkala terjadi gerhana
matahari pada masa Nabi SAW, orang-orang diserukan untuk shalat
"As-shalatu jamiah". Nabi melakukan 2 ruku' dalam satu rakaat
kemudian berdiri dan kembali melakukan 2 ruku' untuk rakaat yang kedua.
Kemudian matahari kembali nampak. Aisyah ra berkata,"Belum pernah aku
sujud dan ruku' yang lebih panjang dari ini. (HR. Bukhari dan Muslim)
2. Bacaan Al-Quran
Shalat gerhana termasuk jenis shalat sunnah yang panjang dan
lama durasinya. Di dalam hadits shahih disebutkan tentang betapa lama dan
panjang shalat yang dilakukan oleh Rasulullah SAW itu :
Dari Ibnu Abbas radhiyallahuanhu, dia berkata bahwa telah
terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah SAW. Maka Rasulullah SAW
melakukan shalat bersama-sama dengan orang banyak. Beliau berdiri cukup lama
sekira panjang surat Al-Baqarah, kemudian beliau SAW ruku' cukup lama, kemudian
bangun cukup lama, namun tidak selama berdirinya yang pertama. Kemudian beliau
ruku' lagi dengan cukup lama tetapi tidak selama ruku' yang pertama. (HR.
Bukhari dan Muslim)
Lebih utama bila pada rakaat pertama pada berdiri yang pertama
setelah Al-Fatihah dibaca surat seperti Al-Baqarah dalam panjangnya.
Ringkasan:
Memastikan terjadinya gerhana bulan atau matahari terlebih
dahulu
Salat gerhana dilakukan saat gerhana sedang terjadi
Sebelum salat, jamaah dapat diingatkan dengan ungkapan, "Ash-salatu
jaami'ah"
Niat melakukan salat gerhana matahari atau gerhana bulan,
menjadi imam atau makmum
Salat gerhana dilakukan sebanyak dua rakaat
Setiap rakaat terdiri dari dua kali ruku dan dua kali sujud
Setelah rukuk pertama dari setiap rakaat membaca surat
al-fatihah kembali
Pada rakaat pertama, bacaan surat pertama lebih panjang
daripada surah kedua. Demikian pula pada rakaat kedua, bacaan surat pertama
lebih panjang daripada surat kedua.
Referensi:
Kitabu as-Shalat ala al-Madzahib al-Arba’ah oleh Abdul-Qodir
ar-Rachbani.
Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu oleh Dr. Wahbah Az-Zuhaili
Rumah-Fiqih Indonesia.